“Let’s make our family as happy as theirs.”
Apakah semua orang yang telah dewasa otomatis juga akan menjadi sempurna, jika dibandingkan dengan dirinya ketika masih remaja misal? Salah satunya Nobita. Di masa remajanya Nobita adalah sosok cengeng dan manja, selalu saja ada masalah yang ia ciptakan dan untuk menyelesaikannya ia butuh bantuan dari Doraemon. Ini isu sederhana yang dikupas dengan cara yang manis oleh film ini yang kembali membuktikan bagaimana cara terbaik dalam memanfaatkan “koneksi” yang manis antara penonton dengan karakter di dalam cerita. ‘Stand by Me Doraemon 2’ : ichi, ni, san! Arigato!
Nobita (Megumi Ōhara) dengan bantuan Doraemon (Wasabi Mizuta) tampak sedang berusaha mencari seseorang di tengah kota yang sudah tampak jauh lebih modern ketimbang dunia saat ini. Dengan menggunakan baling-baling bambu ada rasa cemas yang terpancar di raut wajah mereka berdua, yang kemudian memutuskan untuk mengakhiri pencarian tersebut dan kembali ke present time. Tapi perjalanan Nobita ternyata tidak berhenti di sana, karena ia kemudian memutuskan untuk kembali ke masa lalu dan menemui neneknya.
Salah satu sosok yang sangat Nobita sayangi itu ternyata memiliki satu buah mimpi yaitu agar dapat menyaksikan pernikahan cucunya tersebut. Nobita dengan dibantu Doraemon berniat untuk mewujudkan keinginan sang nenek tapi celakanya sebuah masalah lain timbul. Masalah itu datang dari masa depan di mana acara pernikahan antara Nobita (Satoshi Tsumabuki) dan Shizuka (Yumi Kakazu) mengalami kendala dan penyebabnya adalah Nobita juga. Nobita di masa depan ternyata mengalami kepanikan menjelang acara pernikahan dan ia tiba-tiba menghilang.
Ternyata
rentang waktu hampir tujuh tahun dari film pertamanya tidak membuat sekuel ini
tampak berbeda, dari pola hingga bagaimana Sutradara Takashi Yamazaki dan Ryuichi
Yagi mengolah cerita dan emosi ternyata masih sama seperti yang dulu mereka
hadirkan di film pertama, ‘Stand by Me
Doraemon’. Yang berbeda tentu saja fokus utamanya, jika di film pertama
para penonton ditempatkan pada posisi akan “berpisah” dengan Doraemon sekarang
fokus bergeser pada sosok Nobita yang akan menikah dengan Shizuka. Ya, I know, hal terakhir tadi adalah sesuatu
yang penonton telah nantikan begitu lama.
Salah satu momen terpenting dalam hidup Nobita selain momen ketika ia bertemu dengan Doraemon tentu saja impian untuk menikah dengan Shizuka. Dan Takashi Yamazaki serta Ryuichi Yagi paham fans Doraemon ingin melihat momen tersebut berlangsung. Isu tersebut digunakan sebagai masalah utama pada cerita, bagaimana jika Nobita mendadak ragu menjelang pernikahannya? Ada koneksi antara past, present dan future yang kemudian digunakan sebagai jalan, kita dibawa melihat perjuangan Nobita tidak hanya sekedar untuk “mewujudkan” mimpinya tersebut tapi juga mewujudkan mimpi dari orang-orang yang ia sayangi.
Dan
dari sana penonton perlahan hanyut dalam emosi-nya. Ada satu hal yang terasa
unik dari cara duo Sutradara menata narasi cerita, mereka menempatkan ledakan
emosi itu di bagian penghujung lalu kemudian fokus merangkai runtutan masalah
untuk menuju bagian tersebut tadi. Memang tidak terlalu jauh berbeda dengan
film pertamanya tapi saya merasa “punch
emosi” yang dimiliki film ini justru lebih kuat dan memikat ketimbang film
pertamanya itu. Mungkin karena sebagai penonton kita kembali dibawa menyaksikan
perjuangan dengan pertaruhan yang tidak kecil bagi Nobita, dan kali ini yang
bisa menyelamatkannya adalah dirinya sendiri.
Ada sedikit bumbu romance di sini yang dikemas dengan sangat subtle sedangkan di sisi lain eksis pula kesan hangat dari cinta dan kasih sayang di dalam lingkungan keluarga. Cerita sendiri meskipun tampak ringan di pusatnya namun mengandung semacam pesan tentang kehidupan yang terasa manis, seperti bagaimana manusia tidak serta merta akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan, akan ada proses dalam bentuk perjuangan baik itu meraih serta mempertahankan. Saya juga suka dengan pesan tentang bagaimana Nobita di masa depan ternyata masih belum mampu mengetahui dan menetapkan segala “sesuatu” di dalam hidupnya.
Rasa
ragu Nobita adalah pusat dari pertunjukkan ini dan rasa cintanya pada Shizuka
menjadi titik sentral emosi pada cerita. Itu yang digunakan oleh Takashi Yamazaki dan Ryuichi Yagi untuk membangun kisah,
tetap mengandalkan pesona “odd” yang
menjadi ciri khas cerita Doraemon mereka menghadirkan eksposisi yang terasa oke
tidak hanya pada runtutan jalannya cerita saja tapi juga terhadap pesan dan
juga isu seperti insecurity misalnya.
Konstruksi cerita yang dibangun terasa oke, tidak selalu fluid memang tapi sudah sangat lebih dari cukup untuk membawa
penonton terus berlari bersama karakter menuju titik klimaks yang telah
dinantikan itu.
That moment, ada emosi sederhana tapi cantik di sana, tidak diperas berlebihan tapi sanggup membuat penonton seperti merasa disentil kembali dengan keindahan yang dimiliki oleh keluarga. Sama indahnya dengan kualitas 3D animation itu sendiri yang terasa cukup fluid dan tidak menimbulkan isu terkait menjadi representasi visual bagi emosi yang dialami oleh karakter. Yang paling penting bagi saya dari sektor ini adalah kemampuannya dalam membuat saya sebagai penonton animasi Doraemon “klasik” tetap dapat merasakan ikatan atau koneksi dengan bentuk visual karakter, sama seperti pencapaian dari sektor pengisi suara yang sukses menyuntikkan nyawa menarik bagi masing-masing karakter.
Overall, ‘Stand by Me Doraemon 2’
adalah film yang memuaskan. Di film kedua ini penonton tidak bertemu dengan
sebuah taruhan yang sangat tinggi, justru arahnya ada pada bagaimana karakter
berjuang untuk “memperbaiki” hidupnya ditemani dengan beberapa isu kecil lain
terkait kasih sayang dan keluarga. Tidak heran jika sangat mudah untuk merasa “relatable” dengan perjuangan Nobita dan
Doraemon di film ini, masuk ke dalam petualangan melintasi waktu yang dikemas
dengan tone ringan tanpa
mengesampingkan proses membangun tumpukan emosi bagi klimaks yang sukses
mempermainkan emosi.
“My future with Shizuka, I’ll definitely regain it.”
ReplyDelete